Translate

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Minggu, 23 Februari 2025

BAGAIMANA MENDIDIK ANAK KITA?

 الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله الأمين، وآله وصحبه أجمعين


Salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan oleh orang tua adalah mendidik anak-anak. Mereka adalah amanah yang akan kita pertanggungjawabkan. Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang tua menginginkan kebaikan bagi anak-anak mereka, tetapi dalam praktiknya, mereka berbeda-beda—ada yang membangun dan ada pula yang merusak. Keinginan untuk kebaikan saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan usaha dan kerja keras untuk memperbaiki anak-anak kita, agar mereka tumbuh menjadi benih kebaikan dan menjadi penyejuk hati bagi kita.

Kita harus terlebih dahulu menentukan tujuan yang ingin kita capai dan sasaran yang kita harapkan dapat diraih oleh anak-anak kita.

Apa Tujuan Pendidikan?

Kita sebagai Muslim, memiliki kehidupan lain yang tidak sebanding dengan kehidupan dunia ini, yaitu kehidupan abadi. Kenikmatannya adalah kenikmatan yang hakiki, dan azabnya adalah azab yang tiada bandingannya. Oleh karena itu, kehidupan akhirat harus menjadi prioritas utama dalam segala urusan bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Maka, tujuan utama yang harus kita tetapkan adalah "kehidupan akhirat", atau "hasil akhir dari kehidupan yang sebenarnya". Bagaimana kita dan keturunan kita bisa mendapatkan ridha Allah? Bagaimana kita bisa masuk surga dan selamat dari neraka? Kita harus mendidik anak-anak kita dengan ajaran agama yang benar dengan cara yang tepat, menghubungkan mereka dengan Allah dan syariat-Nya, serta bercita-cita agar mereka meraih derajat yang tinggi di surga.

Dalam kehidupan dunia ini, ada berbagai tingkatan, harapan, keinginan, kesuksesan, dan kegagalan. Namun, seorang Muslim sejati mengabdikan seluruh hidupnya untuk Allah. Allah berfirman:

﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴾

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada-Nya)." (QS. Al-An’am: 162-163)

Agama ini mengajarkan kita untuk berusaha di bumi Allah, menikmati rezeki-Nya, mengejar kesuksesan di dunia agar kita bisa mandiri dan memiliki waktu untuk beribadah kepada-Nya, serta berkontribusi dalam kemajuan umat. Kita dianjurkan untuk mencapai tingkatan tertinggi yang mampu kita raih dengan izin Allah. Jadilah orang yang memiliki cita-cita tinggi dan jangan pernah berhenti berusaha.

Rasulullah bersabda:

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
"Jika terjadi kiamat, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya."

Jangan memandang hasil dengan rasa takut dan menganggapnya mustahil. Kita diciptakan untuk bekerja, berkarya, berjuang, dan menjalani hidup sepenuhnya. Tidak ada yang mustahil bagi kita.

Rasulullah bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ دَاءٍ إِلَّا وَأَنْزَلَ مَعَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

"Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Ada yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya."

Seorang Muslim tidak boleh terpengaruh oleh perkataan orang yang mengatakan, "Ini penyakit yang tidak ada harapannya." Sebaliknya, ia harus berusaha, bertawakal kepada Allah, dan terus bekerja.

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Seorang Muslim memandang dunia melalui kaca mata agamanya. Kita berusaha meraih kedudukan tinggi di dunia dan akhirat sekaligus. Setiap amal duniawi yang dilakukan dengan niat karena Allah akan mendatangkan pahala serta kemuliaan di akhirat, sekaligus manfaat dan keberkahan di dunia.

Berikut ini tujuh hal yang harus kita ingat, baik untuk diri sendiri maupun para orang tua, agar pendidikan anak-anak kita berjalan dengan benar, insyaAllah.

1. Menjadi Teladan yang Baik  (القُدْوَةُ)

Bagi seorang anak, orang tua adalah panutan utama. Ia melihat kehidupan melalui mereka, dan tidak ada sosok yang lebih besar dalam pandangannya selain mereka. Jika orang tua mengatakan, "Ini benar," maka itu adalah kebenaran yang mutlak baginya. Jika mereka mengatakan, "Ini salah," maka itu adalah kesalahan.

Yang dimaksud dengan keteladanan adalah apa yang dilakukan, diucapkan, dan dijalani oleh orang tua—bukan sekadar kata-kata yang mereka sampaikan. Seorang anak bukan sekadar mesin yang hanya menerima perintah, melainkan manusia yang memahami, merasakan, mengamati, dan meniru.

Anak adalah cerminan dari orang tuanya. Jika ingin menanamkan kejujuran dalam dirinya, maka bersikaplah jujur dalam segala hal. Begitu pula dalam aspek lainnya—berhentilah melakukan kesalahan, lakukan yang benar, maka anak akan mengikutimu tanpa perlu sepatah kata pun. Oleh karena itu, hal terbesar yang dapat diberikan orang tua kepada anaknya adalah menjadi pribadi yang saleh dan berakhlak mulia.

Mengenalkan Anak pada Panutan Sejati

Seiring bertambahnya usia dan pemahaman anak, ia akan mulai mencari panutan lain. Di sinilah peran ayah dan ibu untuk mengenalkan anak kepada para nabi, terutama Nabi Muhammad .

Kisah hidup mereka, perjuangan, pengorbanan, dan keutamaan mereka harus diceritakan kepada anak agar ia menjadikan mereka sebagai panutan sejati dan mengikuti petunjuk mereka. Setelah itu, kenalkan anak dengan para sahabat Nabi—generasi terbaik dalam sejarah Islam. Di antara mereka, anak akan selalu menemukan panutan yang baik dan layak untuk diteladani.

2. Mengisi Waktu Anak dengan Hal yang Bermanfaat  (إِشْغَالُهُمْ بِمَا يَنْفَعُ)

Manusia diciptakan untuk bekerja dan berusaha. Jika dibiarkan tanpa kesibukan, jiwa akan mencari hal lain yang mungkin tidak bermanfaat atau bahkan merugikan. Jika kita memperhatikan dampak negatif dari waktu luang, kita akan menemukan bahwa itu lebih berbahaya dibandingkan pekerjaan yang berat dan melelahkan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah keseimbangan antara keduanya.

Pentingnya Menghafal bagi Anak

Hal terbaik yang dapat memenuhi waktu anak dan benar-benar bermanfaat baginya adalah menghafal. Menghafal memiliki kedudukan yang sangat tinggi—karena mengisi hati anak dengan ilmu yang berguna, memperluas daya pikirnya, serta meningkatkan pemahaman bahasa dan maknanya. Dengan menghafal, anak akan mengoptimalkan seluruh kemampuan otaknya, bukan hanya sebagian, tetapi menggunakan potensinya secara penuh.

Prioritas dalam Menghafal

Yang paling utama untuk dihafal adalah Al-Qur'an—karena kelebihannya yang luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada hafalan yang lebih mulia darinya.

Setelah Al-Qur'an, menghafal hadits Nabi sangatlah penting. Ini akan menerangi kehidupannya, mempertajam pemikirannya, memperkuat lisannya, serta memperbaiki gaya bahasanya. Bisa dimulai dengan kitab-kitab hadits ringan seperti Arba'in An-Nawawiyyah atau ‘Umdatul Ahkam.

Jika anak memiliki kemampuan lebih, ia bisa menghafal syair-syair yang bermanfaat—karena ini akan memperkuat bahasanya serta mengasah daya pikir dan kecerdasannya.

3. Mendoakan Anak (الدُّعَاءُ)

Ayah dan ibu, seberapa pun usaha yang mereka lakukan, tetaplah hasilnya merupakan usaha manusia yang bisa benar atau salah. Banyak sebab yang dapat mengantarkan pada hasil yang diharapkan, tetapi tidak ada jaminan mutlak. Selalu ada kekurangan yang tidak bisa dihindari, sebuah kenyataan yang tidak bisa diubah, seperti celah dalam sebuah bangunan. Kekurangan ini tidak bisa tertutupi kecuali dengan bersandar kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, dan berdoa agar Dia memperbaiki keturunan mereka dan membimbing mereka ke arah yang benar serta menunjukkan cara dan metode terbaik dalam mendidik anak.

Oleh karena itu, setiap ayah dan ibu harus bersungguh-sungguh dalam berdoa agar anak-anak mereka menjadi anak yang saleh dan menjadikan doa ini sebagai kebiasaan selama hidup mereka. Beberapa doa yang disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي


"Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang tetap mendirikan salat, dan juga anak cucuku."

وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

"Perbaikilah aku dalam keturunanku."

اللَّهُمَّ أَنْبِتْ ذُرِّيَّتِي نَبَاتًا حَسَنًا

"Ya Allah, tumbuhkanlah keturunanku dengan pertumbuhan yang baik."

Dan doa-doa lainnya yang diajarkan dalam Islam.

Maka jika sang ayah meninggal dunia, atau pergi jauh dari mereka, atau anak-anaknya menghadapi fitnah dan keburukan saat ia tidak ada, maka Allah-lah yang menjadi pelindung mereka, memperbaiki keadaan mereka, menjaga mereka dari kejahatan, dan menolak keburukan dari mereka.

Dengan semua manfaat dari doa untuk mereka ini, Allah juga akan selalu bersama sang ayah (atau ibu) yang berdoa, mendekatkannya kepada-Nya. Jika seorang ayah yang berdoa tidak akan pernah merugi, dan ia berdoa kepada Tuhan yang tidak ada sesuatu pun yang sulit bagi-Nya, yang menguasai segala sesuatu, yang Maha Pemurah, serta mencintai hamba yang berdoa dan meminta kepada-Nya, maka pertanyaannya bukanlah "mengapa engkau berdoa dan terus berdoa?", tetapi "mengapa engkau tidak berdoa?! Bagaimana mungkin engkau berpaling dari semua kebaikan ini?!".

4. Memberikan Tanggung Jawab kepada Anak (إِعْطَاؤُهُمُ المَسْؤُولِيَّةَ)

Dahulu, anak laki-laki dipersiapkan untuk berdagang dan memimpin. Begitu ia mulai tumbuh dewasa, ia sudah berada di toko ayahnya, di pasar, atau bekerja keras, bahkan menikah di usia muda dan mampu mengelola hidupnya dengan baik. Namun, saat ini, karena anak-anak tidak dibebani tanggung jawab dan tidak dipersiapkan untuk mengelola usaha atau pekerjaan, mereka menjadi lalai, senang bermain, dan tidak mampu menanggung tanggung jawab apapun. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka perceraian di kalangan pemuda dan pemudi.

Begitu pula dengan perempuan di masa lalu, mereka belum mencapai usia dua puluh tahun, tetapi sudah memiliki anak, mengelola rumah tangga, dan menjalankan tugas-tugas besar. Manusia di masa lalu dan sekarang tetaplah sama, tetapi cara kita bertindaklah yang telah berubah.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan zaman dan tempat harus diperhitungkan. Kita tidak bisa mengikuti cara hidup orang-orang terdahulu secara harfiah, dan orang tua pun tidak bisa memaksa anak-anak mereka untuk tumbuh persis seperti mereka dahulu.

Memberikan tanggung jawab kepada anak bisa dimulai dengan memperlakukannya seperti seorang laki-laki dewasa meskipun masih kecil. Libatkan dia dalam diskusi, mintalah pendapatnya, dan ajak dia untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik di dalam maupun di luar rumah. Semakin bertambah usianya, berikanlah tanggung jawab yang lebih besar, sehingga ketika mencapai usia dua puluh tahun, dia sudah siap membangun keluarga, menjalankan pekerjaannya, dan berusaha dalam hidup tanpa harus bergantung kepadamu.

Begitu pula, biarkan dia merasakan sedikit kesulitan. Jangan sampai rasa kasih sayang dan belas kasihanmu mengalahkanmu hingga membuatmu menghilangkan rasa sakitnya atau mengurangi bebannya. Seluruh kehidupan manusia bergantung pada bagaimana dia menghadapi penderitaannya—apakah dia melarikan diri dari kenyataan dan rasa sakitnya? Apakah dia menundanya? Apakah dia mampu menghadapinya? Apakah dia bersedia meminta maaf kepada orang yang telah dia sakiti? Seorang anak harus membiasakan diri menyesuaikan dirinya dengan kebenaran, bukan menyesuaikan kebenaran dengan keinginannya. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan menuntunnya sesuai dengan pandangannya terhadap kebenaran.

Terkadang, kamu melihatnya sedang kesakitan—dan sangat mudah bagimu untuk menghilangkan rasa sakit itu—tetapi biarkanlah dia mengatasinya sendiri. Jangan jadikan dirimu sebagai sandaran setiap kali dia menghadapi sedikit kesulitan.

5. Setiap Orang Dimudahkan untuk Melakukan apa yang Ia Diciptakan Untuknya  (كُلٌّ مَيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ)

Hendaknya pendidikan menyesuaikan dengan bakat anak. Hal terburuk yang bisa menimpa anak-anak adalah ketika orang tua menetapkan satu jalan tertentu sebagai satu-satunya cara menuju kesuksesan, serta menentukan standar keberhasilan yang telah mereka pilih sendiri. Jika anak mengikuti jalan itu, mereka bangga dan bahagia, lalu memenuhi pembicaraan mereka dengan pencapaiannya dan kebanggaan terhadapnya. Namun, jika anak tidak menempuh jalan tersebut, seluruh hidupnya dianggap sebagai kegagalan yang terus berulang, dan orang tuanya selalu membuatnya merasa bahwa dia tidak berhasil.

Inilah yang oleh sebagian orang disebut sebagai kekecewaan (خَيْبَةُ الْأَمَلِ  (yang terus melekat dalam diri beberapa orang tua terhadap anak-anak mereka. Misalnya, seorang ayah adalah seorang pengusaha sukses, atau memiliki gelar akademik tinggi, atau menduduki posisi terhormat, atau memiliki bentuk kesuksesan lainnya. Jika anaknya tidak bisa menyelesaikan pendidikannya, tidak bisa berdagang seperti ayahnya, atau tidak dapat mencapai posisi tinggi, maka sang ayah menganggapnya sebagai orang bodoh hanya karena tidak memiliki gelar, atau sebagai orang gagal karena tidak mampu meraih kesuksesan dalam perdagangan dan keuntungan seperti dirinya. Sehingga, anaknya dipandang sebagai orang lemah dan tidak berhasil.

Dan dari sini muncullah karakter lemah pada sebagian anak-anak orang hebat. Karakter yang berulang dan lemah, hampir tidak bisa menguasai pekerjaannya. Mereka memaksanya mengenakan pakaian yang tidak cocok untuknya. Jika dia adalah anak seorang ulama dan ustadz, maka dia harus menjadi ulama dan ustadz seperti ayahnya dan berdiri di mimbar. Jika dia adalah anak seorang dokter yang ahli, maka dia harus menjadi "anak singa dari singa (شِبْلًا مِنْ ذَاكَ الأَسَدِ) jika tidak, dia dianggap gagal.

Oleh karena itu, seorang ayah harus mengetahui kemampuan anaknya sejak kecil, memahami minat, keinginan, dan pilihannya, serta merestuinya. Ia harus membedakan antara keinginan anaknya dan keinginannya sendiri. Ia juga harus membuat anaknya merasa sukses dan berprestasi, meskipun apa yang dilakukan anaknya tampak lemah di matanya.

6. Memastikan Harta Halal untuk Membesarkan Anak (تَحَرِّي المَالِ الحَلَالِ لِنَشْأَتِهِمْ)

Ahmad bin Hafsh berkata: Aku menemui Abu Al-Hasan—yaitu Ismail, ayah dari Imam Bukhari—saat menjelang wafatnya, lalu ia berkata:

لَا أَعْلَمُ مِنْ مَالِي دِرْهَمًا مِنْ حَرَامٍ، وَلَا دِرْهَمًا مِنْ شُبْهَةٍ
"Aku tidak mengetahui ada satu dirham pun dari hartaku yang berasal dari yang haram, dan tidak pula satu dirham pun yang syubhat (meragukan)."

Ahmad berkata:  فَتَصَاغَرَتْ إِلَيَّ نَفْسِي عِنْدَ ذَلِكَ

 "Maka saat itu aku merasa kecil (rendah) di hadapannya."

7.  Kesalehan Orang Tua  (صَلَاحُ الوَالِدَيْنِ)

Kesalehan orang tua menjadi sebab kesalehan anak-anak dari dua sisi. Dari sisi anak-anak meneladani mereka, dan dari sisi bahwa kesalehan orang tua menjadi sebab bagi kesalehan keturunan mereka, dan inilah maksud yang utama.

Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Kahfi:

 وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ﴾ ...   ﴿
"Dan ayah keduanya adalah seorang yang saleh." (QS. Al-Kahfi: 82)

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya :

Dan firman-Nya: "Dan ayah kedunya adalah seorang yang saleh" (QS. Al-Kahfi: 82), menunjukkan bahwa seorang pria yang saleh akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya mencakup mereka di dunia dan akhirat, dengan syafaatnya bagi mereka serta pengangkatan derajat mereka ke tingkat yang lebih tinggi di surga, sehingga hatinya merasa bahagia melihat mereka. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Sa'id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak tersebut dijaga karena kesalehan ayah mereka, meskipun tidak disebutkan bahwa mereka sendiri adalah orang yang saleh. Disebutkan juga bahwa ayah yang dimaksud adalah generasi ketujuh dari mereka.

Sa'id bin al-Musayyib pernah berkata kepada anaknya:

لَأَزِيدَنَّ فِي صَلَاتِي مِنْ أَجْلِكَ؛ رَجَاءً أَنْ أُحْفَظَ فِيكَ

"Sungguh aku akan menambah ibadah shalatku demi dirimu, dengan harapan engkau akan dijaga oleh Allah."

Lalu ia membacakan ayat “Dan ayah keduanya adalah seorang yang saleh” (QS. Al-Kahfi: 82).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ إِلَّا حَفِظَهُ اللَّهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ

"Tidak ada seorang mukmin pun yang wafat, kecuali Allah akan menjaga keturunannya dan keturunan dari keturunannya."

Ibnu al-Munkadir berkata:

إِنَّ اللَّهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ، وَوَلَدَ وَلَدِهِ، وَالدُّوَيْرَاتِ الَّتِي حَوْلَهُ، فَمَا يَزَالُونَ فِي حِفْظٍ مِنَ اللَّهِ وَسِتْرٍ

"Sesungguhnya Allah benar-benar menjaga sebab seseorang yang saleh, anak-anaknya, cucu-cucunya, dan rumah-rumah di sekitarnya. Mereka akan selalu dalam lindungan dan penjagaan Allah."

Dikisahkan bahwa Muhammad bin Ka'b al-Quradhi pernah mendapatkan harta dalam jumlah besar secara tiba-tiba, lalu ia mensedekahkannya hampir seluruhnya, hanya menyisakan sedikit. Orang-orang menegurnya dan berkata :

لَوْ أَبْقَيْتَ هَذَا الْمَالَ لِوَلَدِكَ

"Seandainya engkau menyimpan sebagian harta itu untuk anak-anakmu?"

Maka ia menjawab,

جَعَلْتُ الْمَالَ ذُخْرًا لِي عِنْدَ رَبِّي، وَجَعَلْتُ لِرَبِّي ذُخْرًا لِي عِنْدَ وَلَدِي

"Aku menjadikan harta ini sebagai tabungan untuk diriku di sisi Tuhanku, dan aku menjadikan Tuhanku sebagai tabungan bagi anak-anakku.".

(Diterjemahkan oleh Abu Abdirrahman Benny dari sumber : https://www.alukah.net/social/0/149205/كيف-نربي-أولادنا؟/ dengan judul asli كيف نربي أولادنا؟

Wallahu a'lam bish-shawab 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar