الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله الأمين، وآله وصحبه أجمعين
Kita
harus terlebih dahulu menentukan tujuan yang ingin kita capai dan sasaran yang
kita harapkan dapat diraih oleh anak-anak kita.
Apa Tujuan Pendidikan?
Kita sebagai Muslim,
memiliki kehidupan lain yang tidak sebanding dengan kehidupan dunia ini, yaitu
kehidupan abadi. Kenikmatannya adalah kenikmatan yang hakiki, dan azabnya
adalah azab yang tiada bandingannya. Oleh karena itu, kehidupan akhirat harus menjadi prioritas utama dalam segala
urusan bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
Maka, tujuan utama yang harus kita tetapkan adalah "kehidupan akhirat", atau "hasil akhir dari kehidupan yang
sebenarnya". Bagaimana kita dan keturunan kita bisa mendapatkan
ridha Allah? Bagaimana kita bisa masuk surga dan selamat dari neraka? Kita
harus mendidik anak-anak kita dengan ajaran
agama yang benar dengan cara yang tepat, menghubungkan mereka dengan
Allah dan syariat-Nya, serta bercita-cita agar mereka meraih derajat yang
tinggi di surga.
Dalam kehidupan dunia ini, ada berbagai
tingkatan, harapan, keinginan, kesuksesan, dan kegagalan. Namun, seorang Muslim sejati mengabdikan seluruh hidupnya
untuk Allah. Allah berfirman:
﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴾
"Katakanlah: Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada-Nya)." (QS.
Al-An’am: 162-163)
Agama ini mengajarkan
kita untuk berusaha di bumi Allah,
menikmati rezeki-Nya, mengejar kesuksesan di dunia agar kita bisa mandiri dan
memiliki waktu untuk beribadah kepada-Nya, serta berkontribusi dalam kemajuan
umat. Kita dianjurkan untuk mencapai tingkatan tertinggi yang mampu kita raih
dengan izin Allah. Jadilah orang yang
memiliki cita-cita tinggi dan jangan pernah berhenti berusaha.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ
أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا
فَلْيَغْرِسْهَا
"Jika
terjadi kiamat, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon
kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, hendaklah ia
menanamnya."
Jangan
memandang hasil dengan rasa takut dan menganggapnya mustahil. Kita diciptakan
untuk bekerja, berkarya, berjuang, dan menjalani hidup sepenuhnya. Tidak ada
yang mustahil bagi kita.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ دَاءٍ إِلَّا وَأَنْزَلَ مَعَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ
عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
"Allah
tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Ada yang
mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya."
Seorang Muslim
tidak boleh terpengaruh oleh perkataan orang yang mengatakan, "Ini
penyakit yang tidak ada harapannya." Sebaliknya, ia harus berusaha,
bertawakal kepada Allah, dan terus bekerja.
Islam adalah
agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Seorang Muslim memandang
dunia melalui kaca mata agamanya. Kita berusaha meraih kedudukan tinggi di
dunia dan akhirat sekaligus. Setiap amal duniawi yang dilakukan dengan niat
karena Allah akan mendatangkan pahala serta kemuliaan di akhirat, sekaligus
manfaat dan keberkahan di dunia.
Berikut ini tujuh
hal yang harus kita ingat, baik untuk diri sendiri maupun para orang tua, agar
pendidikan anak-anak kita berjalan dengan benar, insyaAllah.
1. Menjadi Teladan yang Baik (القُدْوَةُ)
Bagi seorang
anak, orang tua adalah panutan utama. Ia melihat kehidupan melalui mereka, dan
tidak ada sosok yang lebih besar dalam pandangannya selain mereka. Jika orang
tua mengatakan, "Ini benar," maka itu adalah kebenaran yang mutlak
baginya. Jika mereka mengatakan, "Ini salah," maka itu adalah
kesalahan.
Yang dimaksud
dengan keteladanan adalah apa yang dilakukan, diucapkan, dan dijalani oleh
orang tua—bukan sekadar kata-kata yang mereka sampaikan. Seorang anak bukan
sekadar mesin yang hanya menerima perintah, melainkan manusia yang memahami,
merasakan, mengamati, dan meniru.
Anak adalah cerminan
dari orang tuanya. Jika ingin menanamkan kejujuran dalam dirinya, maka bersikaplah
jujur dalam segala hal. Begitu pula dalam aspek lainnya—berhentilah melakukan
kesalahan, lakukan yang benar, maka anak akan mengikutimu tanpa perlu sepatah
kata pun. Oleh karena itu, hal terbesar yang dapat diberikan orang tua kepada
anaknya adalah menjadi pribadi yang saleh dan berakhlak mulia.
Mengenalkan
Anak pada Panutan Sejati
Seiring
bertambahnya usia dan pemahaman anak, ia akan mulai mencari panutan lain. Di
sinilah peran ayah dan ibu untuk mengenalkan anak kepada para nabi, terutama
Nabi Muhammad ﷺ.
Kisah hidup
mereka, perjuangan, pengorbanan, dan keutamaan mereka harus diceritakan kepada
anak agar ia menjadikan mereka sebagai panutan sejati dan mengikuti petunjuk
mereka. Setelah itu, kenalkan anak dengan para sahabat Nabi—generasi terbaik
dalam sejarah Islam. Di antara mereka, anak akan selalu menemukan panutan yang
baik dan layak untuk diteladani.
2. Mengisi Waktu Anak dengan Hal yang Bermanfaat (إِشْغَالُهُمْ بِمَا يَنْفَعُ)
Manusia diciptakan untuk bekerja dan berusaha. Jika dibiarkan tanpa
kesibukan, jiwa akan mencari hal lain yang mungkin tidak bermanfaat atau bahkan
merugikan. Jika kita memperhatikan dampak negatif dari waktu luang, kita akan
menemukan bahwa itu lebih berbahaya dibandingkan pekerjaan yang berat dan
melelahkan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah keseimbangan antara keduanya.
Pentingnya Menghafal bagi Anak
Hal terbaik yang dapat memenuhi waktu anak dan benar-benar bermanfaat
baginya adalah menghafal. Menghafal memiliki kedudukan yang sangat tinggi—karena
mengisi hati anak dengan ilmu yang berguna, memperluas daya pikirnya, serta
meningkatkan pemahaman bahasa dan maknanya. Dengan menghafal, anak akan
mengoptimalkan seluruh kemampuan otaknya, bukan hanya sebagian, tetapi menggunakan
potensinya secara penuh.
Prioritas dalam Menghafal
Yang paling utama untuk dihafal adalah Al-Qur'an—karena kelebihannya
yang luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada hafalan yang lebih
mulia darinya.
Setelah Al-Qur'an, menghafal hadits Nabiﷺ sangatlah penting.
Ini akan menerangi kehidupannya, mempertajam pemikirannya, memperkuat lisannya,
serta memperbaiki gaya bahasanya. Bisa dimulai dengan kitab-kitab hadits ringan
seperti Arba'in An-Nawawiyyah atau ‘Umdatul Ahkam.
Jika anak memiliki kemampuan lebih, ia bisa menghafal syair-syair yang
bermanfaat—karena ini akan memperkuat bahasanya serta mengasah daya pikir dan
kecerdasannya.
3. Mendoakan Anak (الدُّعَاءُ)
Ayah dan ibu, seberapa pun usaha yang
mereka lakukan, tetaplah hasilnya merupakan usaha manusia yang bisa benar atau
salah. Banyak sebab yang dapat mengantarkan pada hasil yang diharapkan, tetapi
tidak ada jaminan mutlak. Selalu ada kekurangan yang tidak bisa dihindari,
sebuah kenyataan yang tidak bisa diubah, seperti celah dalam sebuah bangunan.
Kekurangan ini tidak bisa tertutupi kecuali dengan bersandar kepada Allah,
bertawakal kepada-Nya, dan berdoa agar Dia memperbaiki keturunan mereka dan
membimbing mereka ke arah yang benar serta menunjukkan cara dan metode terbaik
dalam mendidik anak.
Oleh karena itu,
setiap ayah dan ibu harus bersungguh-sungguh dalam berdoa agar anak-anak mereka
menjadi anak yang saleh dan menjadikan doa ini sebagai kebiasaan selama hidup
mereka. Beberapa doa yang disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
"Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri dan keturunan kami sebagai penyejuk
hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
رَبِّ اجْعَلْنِي
مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
"Ya
Tuhanku, jadikanlah aku orang yang tetap mendirikan salat, dan juga anak
cucuku."
وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي
"Perbaikilah
aku dalam keturunanku."
اللَّهُمَّ أَنْبِتْ ذُرِّيَّتِي نَبَاتًا حَسَنًا
"Ya
Allah, tumbuhkanlah keturunanku dengan pertumbuhan yang baik."
Dan doa-doa lainnya yang diajarkan
dalam Islam.
Maka jika sang ayah meninggal dunia, atau pergi
jauh dari mereka, atau anak-anaknya menghadapi fitnah dan keburukan saat ia
tidak ada, maka Allah-lah yang menjadi pelindung mereka, memperbaiki keadaan
mereka, menjaga mereka dari kejahatan, dan menolak keburukan dari mereka.
Dengan semua manfaat dari doa untuk mereka ini, Allah juga
akan selalu bersama sang ayah (atau ibu) yang berdoa, mendekatkannya
kepada-Nya. Jika seorang ayah yang berdoa tidak akan pernah merugi, dan ia
berdoa kepada Tuhan yang tidak ada sesuatu pun yang sulit bagi-Nya, yang
menguasai segala sesuatu, yang Maha Pemurah, serta mencintai hamba yang berdoa
dan meminta kepada-Nya, maka pertanyaannya bukanlah "mengapa engkau berdoa
dan terus berdoa?", tetapi "mengapa engkau tidak berdoa?! Bagaimana
mungkin engkau berpaling dari semua kebaikan ini?!".
4. Memberikan Tanggung Jawab kepada Anak (إِعْطَاؤُهُمُ المَسْؤُولِيَّةَ)
Dahulu, anak laki-laki dipersiapkan untuk
berdagang dan memimpin. Begitu ia mulai tumbuh dewasa, ia sudah berada di toko
ayahnya, di pasar, atau bekerja keras, bahkan menikah di usia muda dan mampu
mengelola hidupnya dengan baik. Namun, saat ini, karena anak-anak tidak
dibebani tanggung jawab dan tidak dipersiapkan untuk mengelola usaha atau
pekerjaan, mereka menjadi lalai, senang bermain, dan tidak mampu menanggung
tanggung jawab apapun. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya
angka perceraian di kalangan pemuda dan pemudi.
Begitu pula dengan
perempuan di masa lalu, mereka belum mencapai usia dua puluh tahun, tetapi
sudah memiliki anak, mengelola rumah tangga, dan menjalankan tugas-tugas besar.
Manusia di masa lalu dan sekarang tetaplah sama, tetapi cara kita bertindaklah
yang telah berubah.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan zaman dan
tempat harus diperhitungkan. Kita tidak bisa mengikuti cara hidup orang-orang
terdahulu secara harfiah, dan orang tua pun tidak bisa memaksa anak-anak mereka
untuk tumbuh persis seperti mereka dahulu.
Memberikan tanggung jawab kepada anak bisa
dimulai dengan memperlakukannya seperti seorang laki-laki dewasa meskipun masih
kecil. Libatkan dia dalam diskusi, mintalah pendapatnya, dan ajak dia untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik di dalam maupun di luar rumah.
Semakin bertambah usianya, berikanlah tanggung jawab yang lebih besar, sehingga
ketika mencapai usia dua puluh tahun, dia sudah siap membangun keluarga,
menjalankan pekerjaannya, dan berusaha dalam hidup tanpa harus bergantung
kepadamu.
Begitu pula, biarkan
dia merasakan sedikit kesulitan. Jangan sampai rasa kasih sayang dan belas
kasihanmu mengalahkanmu hingga membuatmu menghilangkan rasa sakitnya atau
mengurangi bebannya. Seluruh kehidupan manusia bergantung pada bagaimana dia
menghadapi penderitaannya—apakah dia melarikan diri dari kenyataan dan rasa
sakitnya? Apakah dia menundanya? Apakah dia mampu menghadapinya? Apakah dia
bersedia meminta maaf kepada orang yang telah dia sakiti? Seorang anak harus
membiasakan diri menyesuaikan dirinya dengan kebenaran, bukan menyesuaikan
kebenaran dengan keinginannya. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan
menuntunnya sesuai dengan pandangannya terhadap kebenaran.
Terkadang, kamu melihatnya sedang kesakitan—dan sangat
mudah bagimu untuk menghilangkan rasa sakit itu—tetapi biarkanlah dia
mengatasinya sendiri. Jangan jadikan dirimu sebagai sandaran setiap kali dia
menghadapi sedikit kesulitan.
5. Setiap Orang Dimudahkan untuk Melakukan apa yang Ia Diciptakan Untuknya (كُلٌّ مَيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ)
Hendaknya pendidikan menyesuaikan dengan bakat anak. Hal terburuk yang bisa menimpa anak-anak adalah
ketika orang tua menetapkan satu jalan tertentu sebagai satu-satunya cara
menuju kesuksesan, serta menentukan standar keberhasilan yang telah mereka
pilih sendiri. Jika anak mengikuti jalan itu, mereka bangga dan bahagia, lalu
memenuhi pembicaraan mereka dengan pencapaiannya dan kebanggaan terhadapnya.
Namun, jika anak tidak menempuh jalan tersebut, seluruh hidupnya dianggap
sebagai kegagalan yang terus berulang, dan orang tuanya selalu membuatnya
merasa bahwa dia tidak berhasil.
Inilah yang oleh sebagian orang disebut sebagai kekecewaan (خَيْبَةُ
الْأَمَلِ (yang
terus melekat dalam diri beberapa orang tua terhadap anak-anak mereka.
Misalnya, seorang ayah adalah seorang pengusaha sukses, atau memiliki gelar
akademik tinggi, atau menduduki posisi terhormat, atau memiliki bentuk
kesuksesan lainnya. Jika anaknya tidak bisa menyelesaikan pendidikannya, tidak
bisa berdagang seperti ayahnya, atau tidak dapat mencapai posisi tinggi, maka
sang ayah menganggapnya sebagai orang bodoh hanya karena tidak memiliki gelar,
atau sebagai orang gagal karena tidak mampu meraih kesuksesan dalam perdagangan
dan keuntungan seperti dirinya. Sehingga, anaknya dipandang sebagai orang lemah
dan tidak berhasil.
Dan dari sini muncullah karakter lemah pada
sebagian anak-anak orang hebat. Karakter yang berulang dan lemah, hampir tidak
bisa menguasai pekerjaannya. Mereka memaksanya mengenakan pakaian yang tidak
cocok untuknya. Jika dia adalah anak seorang ulama dan ustadz, maka dia harus
menjadi ulama dan ustadz seperti ayahnya dan berdiri di mimbar. Jika dia adalah
anak seorang dokter yang ahli, maka dia harus menjadi "anak singa dari singa (شِبْلًا مِنْ ذَاكَ الأَسَدِ) jika tidak,
dia dianggap gagal.
Oleh karena itu, seorang ayah harus mengetahui kemampuan
anaknya sejak kecil, memahami minat, keinginan, dan pilihannya, serta
merestuinya. Ia harus membedakan antara keinginan anaknya dan keinginannya
sendiri. Ia juga harus membuat anaknya merasa sukses dan berprestasi, meskipun
apa yang dilakukan anaknya tampak lemah di matanya.
6. Memastikan Harta Halal untuk Membesarkan Anak (تَحَرِّي المَالِ الحَلَالِ لِنَشْأَتِهِمْ)
Ahmad bin Hafsh berkata: Aku menemui Abu
Al-Hasan—yaitu Ismail, ayah dari Imam Bukhari—saat menjelang wafatnya, lalu ia
berkata:
لَا أَعْلَمُ مِنْ مَالِي دِرْهَمًا مِنْ
حَرَامٍ، وَلَا دِرْهَمًا مِنْ شُبْهَةٍ
"Aku
tidak mengetahui ada satu dirham pun dari hartaku yang berasal dari yang haram,
dan tidak pula satu dirham pun yang syubhat (meragukan)."
Ahmad berkata: فَتَصَاغَرَتْ
إِلَيَّ نَفْسِي عِنْدَ ذَلِكَ
"Maka
saat itu aku merasa kecil (rendah) di hadapannya."
7. Kesalehan Orang Tua (صَلَاحُ الوَالِدَيْنِ)
Kesalehan
orang tua menjadi sebab kesalehan anak-anak dari dua sisi. Dari sisi anak-anak
meneladani mereka, dan dari sisi bahwa kesalehan orang tua menjadi sebab bagi
kesalehan keturunan mereka, dan inilah maksud yang utama.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Kahfi:
وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا ﴾ ... ﴿
"Dan ayah keduanya adalah seorang yang
saleh." (QS. Al-Kahfi: 82)
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya :
Dan
firman-Nya: "Dan ayah kedunya adalah seorang yang saleh" (QS.
Al-Kahfi: 82), menunjukkan bahwa seorang pria yang saleh akan dijaga
keturunannya. Keberkahan ibadahnya mencakup mereka di dunia dan akhirat, dengan
syafaatnya bagi mereka serta pengangkatan derajat mereka ke tingkat yang lebih
tinggi di surga, sehingga hatinya merasa bahagia melihat mereka. Seperti yang
disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Sa'id bin Jubair
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak tersebut dijaga karena kesalehan
ayah mereka, meskipun tidak disebutkan bahwa mereka sendiri adalah orang yang
saleh. Disebutkan juga bahwa ayah yang dimaksud adalah generasi ketujuh dari
mereka.
Sa'id bin al-Musayyib pernah berkata kepada anaknya:
لَأَزِيدَنَّ
فِي صَلَاتِي مِنْ أَجْلِكَ؛ رَجَاءً أَنْ أُحْفَظَ فِيكَ
"Sungguh
aku akan menambah ibadah shalatku demi dirimu, dengan harapan engkau akan
dijaga oleh Allah."
Lalu ia membacakan ayat “Dan ayah keduanya adalah seorang yang saleh”
(QS. Al-Kahfi: 82).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz
berkata:
مَا مِنْ
مُؤْمِنٍ يَمُوتُ إِلَّا حَفِظَهُ اللَّهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ
"Tidak ada seorang mukmin pun yang
wafat, kecuali Allah akan menjaga keturunannya dan keturunan dari
keturunannya."
Ibnu al-Munkadir berkata:
إِنَّ اللَّهَ
لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ، وَوَلَدَ وَلَدِهِ، وَالدُّوَيْرَاتِ
الَّتِي حَوْلَهُ، فَمَا يَزَالُونَ فِي حِفْظٍ مِنَ اللَّهِ وَسِتْرٍ
"Sesungguhnya
Allah benar-benar menjaga sebab seseorang yang saleh, anak-anaknya,
cucu-cucunya, dan rumah-rumah di sekitarnya. Mereka akan selalu dalam lindungan
dan penjagaan Allah."
Dikisahkan bahwa
Muhammad bin Ka'b al-Quradhi pernah mendapatkan harta dalam jumlah besar secara
tiba-tiba, lalu ia mensedekahkannya hampir seluruhnya, hanya menyisakan
sedikit. Orang-orang menegurnya dan berkata :
لَوْ أَبْقَيْتَ
هَذَا الْمَالَ لِوَلَدِكَ
"Seandainya
engkau menyimpan sebagian harta itu untuk anak-anakmu?"
Maka ia menjawab,
جَعَلْتُ
الْمَالَ ذُخْرًا لِي عِنْدَ رَبِّي، وَجَعَلْتُ لِرَبِّي ذُخْرًا لِي عِنْدَ
وَلَدِي
"Aku menjadikan harta ini sebagai tabungan untuk diriku
di sisi Tuhanku, dan aku menjadikan Tuhanku sebagai tabungan bagi
anak-anakku.".
(Diterjemahkan oleh Abu Abdirrahman Benny dari sumber : https://www.alukah.net/social/0/149205/كيف-نربي-أولادنا؟/
dengan judul asli كيف نربي أولادنا؟
Wallahu a'lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar